1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Jambi.

2. Ketua Lembaga Kajian Sosial Ekonomi-Wilayah Jambi.

3. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Jambi.

4. Ketua Bidang Organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).

5. Koordinator Advokat Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Penasehat Hukum Indonesia-Wilayah Sumatera.

Sabtu, 27 Juli 2013

FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA

Korupsi di Indonesia, sudah merupakan “biang kemudaratan ”, yang bisa meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum (peradilan), sosial, budaya, kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan kehidupan ber”agama” yang selama ini dianggap sebuah zona yang sakral dan sarat dengan nuansa moral, ternyata bersarang pula perilaku amoral bagi pengurus dan pemeluknya. Dampaknya, sangat besar dan meluas, mulai dari kerugian negara sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan secara struktural. Akibatnya, korupsi melahirkan berbagai tragedi alami, kemasyarakatan dan juga kemanusiaan. Berbagai upaya semula diramalkan bisa mencegah-tangkal dan pada akhirnya diharapkan mampu memberantas tuntas akar korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan piranti hukum maupun aplikasi hukum in concreto , ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum “tebang pilih” (discriminative justice ). De Facto , terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra produktivitas.
Meluasnya fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya lebih banyak berbentuk penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan politik maupun ekonomi oleh upper power class dan upper economic class . Dengan mempelajari “kelemahan” hukum, mereka melakukan konspirasi untuk tujuan kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya menimbulkan korupsi. Dengan profesionalitas yang dimilikinya, perbuatannya sangat sulit dideteksi oleh hukum (offences beyond the reach of the law ). Penguasaan sumber daya politik yang melekat pada posisi jabatan strategis tertentu dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan negara, merupakan potensi besar untuk mengalokasikan sumber dan fasilitas ekonomi, sesuai dengan kepentingan bisnis pihak penjalin hubungan patronase dengan pemegang kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan seperti ini semakin menjadi, karena terjadi ketidakefektifan pengawasan oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi, maupun oleh pranata-pranata demokrasi yang bergerak terbatas karena diakomodasikan dan dikendalikan negara. Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin meluas dan “menggila". Pada akhirnya, prognosis korupsi semakin meluas bahkan hampir menjurus pada “pembusukan” bangsa sehingga diberi predikat sebagai extra ordinary crime . Situasi korupsi di Indonesia pada saat ini, memang tidak bisa lagi dikategorikan sebagai situasi normal, melainkan sudah melebihi ambang batas toleransi (“Abnormal ”).  
Apakah dengan mengorupsi uang negara (uang rakyat) yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi negara (rakyat), sementara perbuatan pelaku hanya menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merupakan perbuatan yang adil? Jika uang negara yang pada mulanya peruntukkannya digunakan untuk kemakmuran rakyat, namun dikorupsi terus, apakah dengan demikian kemakmuran rakyat akan tercapai? Ada adagium dalam bahasa Latin yang mengatakan “Salus populi suprema est lex ” yang artinya “Kemakmuran rakyat adalah norma hukum tertinggi ”. Jadi, jelaslah bahwa korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan kemakmuran rakyat sebagai norma dan sekaligus sebagai tujuan hukum tertinggi. Tidaklah dipungkiri, “jika keadilan dan kemakmuran tidak tercipta jangan harap kesejahteraan akan terjelma ”.
Menyikapi problema korupsi yang merupakan perbuatan tercela. Maka solusinya adalah kembali pada landasan berperilaku bangsa Indonesia yaitu Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di setiap butirnya, antara lain :
1. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradigma moral religious, adalah perbuatan yang dikehendaki Tuhan yang tertuang melalui ajaran-ajaran atau nilai-nilai agama yaitu perbuatan benar menurut penalaran akal budi manusia terhadap agamanya (Tuhannya).
2. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradigma kemanusiaan, adalah perbuatan yang mengakui dan menghormati martabat kemanusiaan, yaitu berlaku tidak sewenang-wenang, tidak melanggar hak orang lain, sesuai dengan kewajibannya sendiri dan kewajiban orang lain .
3. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradigma kebangsaan, adalah perbuatan yang mampu mengendalikan diri sendiri, yaitu perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri, orang lain atau golongannya saja.
4. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan) adalah perbuatan yang menghormati dan mentaati setiap keputusan rakyat yang telah diambil secara konstitusional dan demokratis, yaitu perbuatan patuh pada hukum negara .
5. Perbuatan yang sesuai dengan nilai/paradima keadilan sosial adalah perbuatan yang dapat memberi arah pada pertumbuhan kesadaran setiap individu sebagai mahluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat, bangsa dan negara, yaitu perbuatan yang berkeadilan menurut kepentingan bersama.