Kita
semua tentu menginginkan dunia ini aman-aman saja tanpa kejahatan, para
penjahat pensiun dan mungkin kita tidak lagi membutuhkan pengacara,
polisi, jaksa, hakim, sipir dan semua penjara ditutup. Termasuk Fakultas
Hukum mungkin juga ditutup. Namun apakah itu semua mungkin terjadi?
Karena faktanya kejahatan terus terjadi, terus bermetamorfosa sesuai
perkembangan masyarakat dan teknologi. Munculnya berbagai hitechcrime
dan transnationalcrime misalnya, menjadi tantangan berat bagi aparat
penegak hukum. Pelakunya pun tidak hanya orang perorang dengan perangai
dan penampilan jahat, tetapi kini yang berdasi, bergelar dan duduk
berkuasa pun turut berpartisipasi menjadi penjahat dengan caranya. Tidak
hanya orang, korporasi juga banyak terlibat kejahatan. Korbannya tidak
satu dua orang lagi, tetapi puluhan bahkan ribuan. Dengan demikian,
kapan kejahatan akan berakhir?
Tiada hari tanpa kejahatan. Itu kiranya ilustrasi yang tepat untuk
menggambarkan kondisi saat ini yang tidak pernah sepi dari aksi
kriminal. Seolah kita ini sedang memproduksi kejahatan di dalam sebuah
pabrik yang disebut masyarakat. Meminjam makna demokrasi yang sering
dipakai, ternyata kejahatan juga dari, oleh dan untuk rakyat. Berbagai
teori kriminologi menunjukkan korelasi yang kuat antara causa kejahatan
dengan masyarakat, baik itu karena perilaku negatifnya, adanya konflik,
labeling, kemiskinan, lemahnya kontrol sosial sampai dengan
penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut POLRI, sepanjang tahun 2012 setiap 91 detik terjadi 1 kejahatan.
Sehingga tidak heran di media massa, media elektronik dan media online
setiap hari selalu memberitakan berbagai perilaku kriminal, mulai dari
kejahatan ringan, sedang sampai berat. Akibatnya pun beragam, ada
kerugian materi, non materi atau keduanya sekaligus. Kerugian materi
disebabkan karena pencurian, pencopetan, perampokan, kerusakan akibat
kecelakaan dan lain-lain. Kemudian akibat non materi, baik dampak fisik
maupun psikologis, seperti korban penganiayaan, KDRT, perkosaan,
pembunuhan, dan lain-lain.
Lebih luas lagi, pada kejahatan tertentu korbannya tidak hanya individu
per individu tetapi masyarakat luas, generasi muda, bahkan lingkungan.
Praktik-praktik korup telah menghambat pembangunan, dan memperbanyak
kemiskinan. Maraknya peredaran pornografi, pornoaksi, minuman keras dan
narkoba telah membawa generasi muda pada pergaulan bebas dan masa depan
yang suram. Illegal mining, illegal logging dan illegal fishing yang
berlangsung terus menerus telah merusak lingkungan dan cepat atau lambat
kita akan menikmati hasilnya, berupa banjir, longsor, minim air bersih,
dan polusi.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menekan angka kriminalitas?
Ketika kita sedikit pesimis untuk menghilangkannya sama sekali. Saya
kira perubahan pola pikir tentang tanggung jawab penanggulangan
kejahatan harus menjadi langkah awal. Ketika kejahatan merupakan produk
masyarakat, maka penanggulangannya jelas tidak bisa hanya dibebankan
kepada aparat penegak hukum. Ketika marak terjadi pencurian atau
pencopetan misalnya, kita menyimpulkan bahwa daerah ini sudah tidak aman
akibat buruknya kinerja kepolisian. Kita jarang sekali untuk mengoreksi
diri dan lingkungan sekitar, jangan-jangan kita juga teledor terhadap
keamanan rumah/lingkungan sehingga memberi kesempatan pencuri masuk.
Begitupula dengan membawa/meletakkan dompet ditempat terbuka yang
memancing niat pencopet untuk beraksi. Disini saya ingin mengatakan
bahwa penanggulangan kejahatan tidak hanya tugas polisi, tapi tugas kita
bersama. Maka jadilah polisi untuk diri kita sendiri. Artinya jagalah
diri anda, keluarga dan harta benda yang dimiliki dari potensi aksi
kejahatan. Waspadalah, waspadalah !!! Demikian kira-kira pesan Bang
Napi.
Sama halnya dengan dunia kesehatan, mencegah lebih baik daripada
mengobati. Dalam penanggulangan kejahatan juga demikian, disamping
pendekatan represif, pendekatan pencegahan/preventif harus dilakukan dan
menjadi prioritas. Upaya preventif akan lebih efektif karena terdiri
dari langkah-langkah untuk menghapus sebab-sebab yang menumbuhsuburkan
kejahatan.
Dalam Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam
masalah "urban crime"). Pertama, Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan
(kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem
pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi; Kedua, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses
integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan
sosial; Ketiga, mengendurnya ikatan sosial dan keluarga; Keempat,
keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota/ke negara-negara lain; Kelima,
rusaknya/hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya
rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial,
kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan; Keenam, menurun/mundurnya
(kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan
berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lingkungan/bertetangga; Ketujuh, kesulitan-kesulitan bagi orang-orang
dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam
lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan
sekolahnya; Kedelapan, penyalahgunaan alkohol, obat bius dll yang
pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
Kesembilan, meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya
perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; Kesepuluh,
dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau
sikap-sikap tidak toleransi. Selama kesepuluhnya masih ada, maka kita
akan terus memproduksi kejahatan. Oleh karenanya, dibutuhkan kerjasama
semua institusi terkait plus partisipasi masyarakat untuk mengatasinya,
bukan hanya tugas aparat penegak hukum. Mari bersama mencegah kejahatan.