1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Jambi.

2. Ketua Lembaga Kajian Sosial Ekonomi-Wilayah Jambi.

3. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Jambi.

4. Ketua Bidang Organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).

5. Koordinator Advokat Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Penasehat Hukum Indonesia-Wilayah Sumatera.

Jumat, 27 September 2013

Hukuman Mati bagi Pelaku Korupsi ?

Korupsi, kolusi, nepotisme dan budaya suap di Indonesia sudah semakin parah dan memilukan dibanding Negara-negara tetangga. Bahkan dalam *kasus korupsi* Indonesia selalu menempati peringkat yang memalukan.
Seperti data /Corruption Perception Indeks/ (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi yang dilansir oleh 10 organisasi internasional, pada tahun 2010, Indonesia berada di urutan 110 dengan nilai 2,8. Padahal Negara tetangganya, Singapura bertengger di peringkat 1 dengan nilai hampir mendekati 10 yakni, 9,3. Brunei 5,5 dan Malaysia 4,4 serta Thailand 3,5.

     *Data Seram CIA*
Korupsi politik adalah istilah umum yang mengacu pada kejadian di mana pejabat pemerintah yang ditunjuk atau dipilih, dari hakim sampai legislator dan polisi, gagal untuk menegakkan hukum secara adil dan seimbang.
Hal ini dapat mencakup kegiatan seperti mendukung undang-undang melalui suap, memberikan pemerkosaan pada peradilan dan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan untuk memilih minoritas dalam populasi, atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
Sejarah manusia di pemerintah dari semua jenis telah menunjukkan korupsi dalam beberapa derajat. Praktek ini biasanya lebih luas, namun, dalam sistem politik yang tidak memiliki pemeriksaan chek and balances untuk membatasi kekuasaan di tingkat lokal dan nasional, seperti di negara diktator dan rezim totaliter (apakah Indonesia termasuk? Mari tanya KPK).
Negara-negara yang paling tidak stabil umumnya mereka dengan administrasi pemerintahan yang buruk dan kontrol atas penduduk, karena gejolak ekonomi, militer, atau etnis. Hal ini sering menyebabkan korupsi politik meluas di pejabat pemerintah yang memperoleh kewenangan dan kantor dengan cara dipertanyakan di tempat pertama dan yang mungkin tidak mewakili kehendak rakyat.
Bangsa yang menduduki puncak daftar indeks negara gagal pada 2011 termasuk Somalia, Zimbabwe, dan Sudan. Setiap bangsa memiliki kondisi yang unik yang mengarah ke korupsi politik, dengan Somalia memiliki pemerintah pusat sangat lemah, Zimbabwe menghadapi tantangan ekonomi yang sangat besar, dan Sudan berjuang dengan konflik antar etnis.
Badan intelijen ternama seperti Central Intelligence Agency (CIA) secara teratur memeriksa korupsi oleh negara dan upaya untuk cukup peringkat negara yang menggunakan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.
Mengapa CIA?
Karena AS mengendalikan sumber keuangan dunia melalui program bank dunia mereka, dan wajar bila mereka merasa terusik keuntungannya bila ‘bantuan’mereka bocor kepada satu dua keluarga di dalam rezim pemerintahan tertentu.
Daftar yang dibangun CIA ini termasuk indeks kebebasan politik dan perlindungan pemerintah menawarkan kepada warga negara mereka. Daftar yang didasarkan pada hak-hak politik dasar dan kebebasan sipil yang, sekali mapan, meminimalkan korupsi politik seperti korupsi polisi dan pemerintahan yang tidak adil oleh elite kekuasaan.
Peringkat CIA untuk negara-negara dengan tingkat kebebasan pada 2011 misalnya didasarkan pada hak-hak politik dari proses pemilu yang adil, pluralisme politik dan partisipasi penduduk, dan pemerintah, yang stabil berfungsi.
Ini juga termasuk peringkat menggunakan kebebasan sipil, seperti kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, penegakan hukum, dan perlindungan hak-hak individu. Bangsa yang peringkat sebagai yang paling menindas di daftar dari tahun 2011 termasuk Burma, Libya, dan Korea Utara. Negara lain dianggap tinggi pada daftar untuk sistem politik yang tidak adil yang sering menyebabkan korupsi sistemik termasuk Cina, Kuba, dan Laos. Itu versi CIA.
*Korupsi Kelas Atas Korupsi Kelas Bawah*
Korupsi di pemerintah daerah sering merupakan contoh di mana pemerintah nasional lemah atau telah melepaskan tanggung jawab atas warganya, kecuali di ibukota dan kota-kota besar. Ini semacam korupsi politik dapat ditelusuri kembali ke kerajaan dan monarki dari masa lalu, di mana kelas penguasa politik yang menggunakan kekuasaan dan kekayaan untuk mengeksploitasi penduduk setempat yang kurang beruntung.
Kondisi yang sama masih ada saat ini di banyak negara berkembang, di mana kekayaan sumber daya alam suatu negara disalurkan sebagian besar kelas penguasa, dan sebagian besar penduduk diabaikan dan diabaikan.
CIA World Factbook pada 2007 mencatat Republik Demokratik Kongo sebagai contoh sebuah negara di mana korupsi merajalela dalam sistem perbankan dan infrastruktur yang buruk berkontribusi untuk membuat negara paling berbahaya untuk tinggal keenam di dunia.
Skandal politik, bagaimanapun, tidak semata-mata provinsi negara-negara miskin atau yang diperintah oleh rezim yang menindas. Negara demokrasi maju banyak pada satu waktu atau lain telah memiliki mesin politik yang merajalela dengan korupsi.
Negarawan besar seperti Inggris Winston Churchill mengakui bahwa korupsi politik adalah kondisi manusia yang muncul dalam semua bentuk pemerintahan dan bahwa salah satu cara terbaik untuk meminimalkan itu untuk mendorong partisipasi dari semua warga negara dalam proses pemerintahan.
Korupsi politik dalam bentuknya yang paling dasar adalah suatu tindakan oleh pejabat publik yang menentang kepentingan masyarakat luas, untuk memberikan pertimbangan khusus pada kebutuhan perusahaan asosiasi dan seperti hati individu. Dalam hal, korupsi politik ini maka merupakan tren bahwa semua pejabat publik harus di-jaga dalam menjalankan tugas sehari-hari mereka untuk orang banyak di mana mereka bertugas melayani, dan bukan mengambil keuntungan pribadi.
    *Hukuman Mati Koruptor*
Dalam menangani maraknya kasus korupsi Indonesia perlu menerapkan hukuman mati. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, hakim tak perlu takut untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terpidana korupsi, karena hal itu sudah diatur dalam Undang-undang.
Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang No. 31/1999 yang kemudian diperbaharui dengan munculnya UU no. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, koruptor bisa dihukum mati ketika korupsi dilakukan dalam keadaan Negara yang sedang mengalami bencana alam atau dilanda krisis. Meskipun pada prakteknya, hingga saat ini belum ada keberanian hakim yang memvonis koruptor dengan hukuman mati.
*Belajar dari China dan Lativia*
Sedangkan menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, dalam menangani akutnya kasus korupsi Indonesia perlu belajar dari Negara lain seperti China dan Lativa. Kedua Negara ini dinilai berani dalam melakukan revolusi guna menumpas kejahatan korupsi di negaranya masing-masing.
China menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor dengan memberlakukan kebijakan pemutihan sebelumnya. Dengan kata lain, semua pejabat China yang pernah melakukan korupsi sebelum tahun 1998 dianggap bersih dan diputihkan.
Akan tetapi begitu korupsi terjadi satu hari saja setelah pemutihan diberlakukan, pelakunya langsung dijatuhi hukuman mati. Praktis, hingga tahun 2007 saja, sudah 4.800 orang pejabat China yang terkena hukuman mati. Kini, China termasuk Negara yang bersih dari korupsi.
Sedangkan Latvia menerapkan kebijakan Lustrasi dengan mengeluarkan Undang-undang Pemotongan Generasi. Melalui pemberlakukan Undang-undang Lustrasi Nasional inilah seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang untuk aktif kembali. Dengan adanya kebijakan Lustrasi, Latvia yang sebelum tahun 1998 dikenal sebagai Negara yang korup, kini menjadi Negara yang bersih juga dari praktek korupsi.
*Perlu Terobosan*
Belajar dari pengalaman dua Negara di atas, perlukah Indonesia menerapkan kebijakan sejenis untuk memberantas korupsi yang semakin hari semakin merajalela menggerogoti tubuh Republik ini. Meskipun upaya tersebut akan menemui jalan buntu ketika dibenturkan pada problem Hak Asasi Manusia (HAM) dan tentunya kendala politis yang sering dihadapi.
Betapa pun rumitnya persoalan, yang pasti Indonesia perlu terobosan-terobosan baru agar hukum memberikan efek jera bagi siapapun yang berniat melakukan korupsi di negeri ini, termasuk hukum potong tangan jika diperlukan!

Sumber : http://www.anneahira.com/kasus-korupsi-indonesia.htm